Selasa, 08 November 2016

Sajak Sajak Chairil Anwar


NISAN
Untuk nenekanda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keidlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta

Oktober 1942
PENGHIDUPAN

Lautan maha dalam
mukul dentur selama
nguji tenaga pematang kita
            mukul dentur selama
            hingga hancur remuk redam
            Kurnia Bahagia
            kecil setumpuk
            sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk

Desember 1942
AJAKAN

Ida
Menembus sudah caya
Udara tebal kabut
Kaca hitam lumut
Pecah pencar sekarang
Di ruang legah lapang
Mari ria lagi
Tujuh belas tahun kembali
Bersepeda sama gandengan
Kita jalani ini jalan
            Ria bahagia
            Tak acuh apa-apa
            Gembira-girang
            Biar hujan dating
            Kita mandi basah-basakan diri
            Tahu pasti sebentar kering lagi

Februari 1943
AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ’kan merayu
            Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
            Biar perluru menembus kulitku
            Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
            Dan aku lebih tak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

Maret 1943
AKU

Melangkahkan aku bukan tuak menggelehak
Cumbu-cumbu satu biduan
Kujauhi ahli agama serta lembing-katanya.
            Aku hidup
            Dalam di mata tampak bergerak
            Dengan cacar melebar, barah bernanah
            Dan kadang satu senyum kukucup-minum dalam dahaga.

8 Juni 1943
BERCERAI

Kita musti bercerai
Sebelum kicau murai berderai.
            Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum puas serah-menyerah
Darah masih berbusah-busah
            Terlalu kita minta pada mala mini.
Kita musti bercerai
Biar surya ‘kan menembus oleh malam di perisai
            Dua benua bakal bentur-membentur.
            Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA, mau turut mengabur
Tidak damudra caya tempatmu menghambur.

7 Juni 1943
CERITA
Kepada Darmawidjaja

Di Pasar Baru mereka.
Lalu mengada-menggaya.
            Mengikat sudah kesal
            Tak thu apa dibuat
Jiwa satu teman lucu
Dalam hidup, dalam tuju.
            Gundul diselimuti tebal
            Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang pula dapat
Ini renggang terus terapat.

9 Juni 1943
DENDAM

Berdiri tersentak
Dari mimpi aku bengis dielak
            Aku tegak
            Bulan bersinar sedikit tak Nampak
Tangan merabah ke bawah bantalku
Keris berkarat ku genggam di hulu
            Bulan bersinar sedikit tak Nampak
Aku mencari
Mendadak mati kuhendak berbekas di jari
            Aku mencari
            Diri tercerai dari hati
Bulan bersinar sedikit tak tampak

13 Juli 1943

DI MESJID

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga
            Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya
            Bersimbah peluh diri yang tak bisa diperkuda
Ini ruang
Gelanggang kami berperang
            Binasa-membinasa
            Satu menista yang lain gila.

29 Mei 1943
DIPONEGORO

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali

Dan bara kagum menjadi api

Di sepan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyarbu



Sekali berarti
Sudah itu mati

MAJU

Bagimu Negeri
Menyedihkan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditinda

Sungguhpun dalam ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai.

Maju.

Serbu.
Serang.
Terjang

Februari 1943
DO’A
Kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu
            Biar susah sungguh
            mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
            Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk
            Tuhanku
aku mengembara di negeri asing
            Tuhanku
            di pintuMu aku mengetuk
            aku tidak bisa berpaling

13 November 1943
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi

Sepi di luar, sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak
Sepi memagut
Tak suatu kuasa-berani melepas diri
Segala menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung punda
Udara bertuba
Rontok-gugur segala. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Menanti. Menanti.

Maret 1943
HUKUM

Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
            Seorang jerih memikul. Banyak menagkis pukul.
Bungkuk jalannya-Lesu
Pucat mukanya-Lesu
            Orang menyebut satu nama jaya
            Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut supaya terus ini padanya
            Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
            Nanti, kaku dinanti-dimengerti!

Maret 1943
ISA

Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
            rubuh
            patah
mendampar tanya: aku salah?
            kulihat Tubuh mengucur darah
            aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
            menutup luka
aku bersuka
            Itu Tubuh
            mengucur darah
            mengucur darah

12 Nopember 1943
JANGAN KITA DI SINI BERHENTI

Jangan kita disini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu…!!
            Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
            Pelayannya kita dilayani gadis-gadis
            O, bibir merah, selokan mati pertama
            O, hidup, kau, masih ketawa?

24 Juli 1943
KAWANKU DAN AKU
Kepada L.K. Bohang

Kami jalan sama. Sudah larut
Menembus kabut.
Hujan mengucur badan.
            Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
            Siapa berkata?
Lawanku hanya rangka saja
Karena dera mengelucak tenaga.
            Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut sekali
Hingga hilang segala makna
Dan gerak tak punya arti

5 Juni 1943
KENANGAN
Untuk Karinah Moordjono

Kadang
Di antara jeriji itu-itu saja
Mereksmi member warna
Benda using dilupa
Ah! tercebar rasanya diri
Membuang tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus rapuh ini jalinan kenang
Hancur hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di itu-itu saja
Jiwa bertanya: Dari buah
Hidup kan banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung nyesak penyesalan pernah menyia-nyia

19 Maret 1943
KEPADA PEMINTA-MINTA

Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.
            Jangan lagi kau bercerita
            Sudah tercacar semua di muka
            Nanah meleleh dari luka
            Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara tiap kau melangkah
Mengerang tiap kau memandang
Menetes dari suasana kau dating
Sembarang kau merebah.
            Mengganggu dalam mimpiku
            Menghempas aku di bumi keras
            Di bibirku terasa pedas
            mengaum di telingaku.
Baik, baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku.

Juni 1943
KESABARAN

Aku tak bisa tidur
Orang ngomong, anjing menggonggong
Dunia jauh mengabur
Kelam mendingding batu
Dihantam suara bertalu-talu
Di sebelahnya api dan abu
            Aku hendak berbicara
            Suaraku hilang, tenaga terbang
            Sudah! Tidak jadi apa-apa
            Ini dunia enggan disapa, ambil perduli
Keras membeku air kali
Dan hidup bukan hidup lagi
            Kuulangi yang dulu kembali
            Sambil bertutup telinga, berpicing mata
            Menunggu reda yang mesti tiba

Maret 1943
KITA GUYAH LEMAH

Kita guyah lemah
Sekali tetak tentu rebah
Segala erang dan jeritan
Kita pendam dalam keseharian
            Mari tegak merentak
            Diri-sekeliling kita bentak
            Ini malam purnama akan menembus awan.

22 Juli 1943
KUPU-KUPU MALAM DAN BINIKU

Sambil berselisih lalu
mengebu debu.
            Kupercepat langkah. Tak noleh ke belakang
            Negri ini luka-terbuka sekali terpandang
Barah ternganga
            Melayang ingatan ke biniku
            Lautan yang belum terduga
            Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali tak setahuku
Ia menipuku.

Maret 1943
LAGU BIASA

Di teras rumah makan kami kini berhadapan
Beru berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun samudra jiwa sudah selam berselam
            Masih saja berpandangan
            Dalam lakon pertama
            Orkes meningkah dengan “Carmen” pula.
Ia mengerling. Ia ketawa
Dan rumput kering terus menyala
Ia berkata. Suaranya nyaring tinggi
Darahku terhenti berlari
            Katika orkes memulai “Ave Maria”
            Kuseret ia ke sana….

Maret 1943
MERDEKA

Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida
            Pernah
            Aku percaya pada sumpah dan cinta
            Manjadi sumsum dan darah
            Seharian kukunyah-kumamah
Sedang meradang
Segala kurengut
Ikut baying
            Tapi kini
            Hidupku terlalu tenang
            Selama tidak antara badai
            Kalah menang
Ah! jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

14 Juli 1943
MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU

Mulutmu mencubit di mulutku
Menggelehak benci sejenak itu
Mengapa merihmu tak kucekik pula
Ketika halus-perih kau meluka??

12 Juli 1943
PELARIAN

I
Tak tertahan lagi
remang miang sengketa di sini
            Dalam lari
            Dihempaskan pintu keras tak berhingga
Hancur-luluh seketika
Dan paduan dua jiwa

II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungau sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja”
            Tak kuasa-terengkam
            Ia dicengkam malam

Februari 1943
PENERIMAAN

Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
            Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari yang sidah terbagi
            Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani
Kalau kau mau kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
            Sedang dengan cermin aku enggan berbagi

Maret 1943
PERHITUNGAN

Banyak gores belum terputus saja
Satu rumah kecil putih dengan lampu merah muda caya
            Langit bersih-cerah dan purnama raya…
            Sudah itu tempatku tak tentu di mana.
Sekilap pandangan serupa dua klewang bergeseran
            Sudah itu berlepasan dengan sedikit heran
            Hembus kau aku tak perduli, ke Bandung, ke Sukabumi…!?
Kini aku meringkih dalam malam sunyi.

16 Maret 1943
RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
            Kulari dari gedong lebang halaman
            Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi hari terbang entah ke mana
            Rumahku dari unggun-timbun sajak
            Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama lagi, tapi datangnya dating
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika managih yang satu.

27 April 1943

SELAMAT TINGGAL

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta
            Ini muka penuh luka
            Siapa punya?
Kudengar seru-menderu
-dalam hatiku?-
Apa hanya angin lalu?.
            Lagu lain pula
            Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
            Segala menebal, segala mnegntal
            Segala tak kukenal…
Selamat tinggal…!!!

12 Juli 1943
SENDIRI

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya
            Ia membenci. Dirinya dari segala
            Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-mananti ia mnyebut satu nama
            Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
            Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

Februari 1943
SIA-SIA

Pengahbisan kali itu kau dating
Membawa kembang berkarang
Mawar merah dan melati putih
Darah dan suci
Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: untukmu.
            Lalu kita sama termangu
            Saling bertanya: apakah ini?
            Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita bersama. Tak hamper-menghampiri
            Ah! Hatiku yang tak mau member
            Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Februari 1943
SUARA MALAM

Dunia badai dan topan
Manusia mengingatkan “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai dan reda?
Mati.
Barang kali ini diam kaku saja
dengan ketenangan selama bersatu
mengatasi suka dan duka
kekebalan terhadap debu nafsu.
Berbaring tak sadar
Seperti kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul ombak besar.
Atau ini.
Peleburan dalam tiada
dan sekali akan menghadap cahaya.
…………………………………………………
Ya Allah! Badanku terbakar-segala samar.
Aku sudah melewati batas.
Kembali? Pintu tertutup dengan keras.

Februari 1943
TAK SEPADAN

Aku kira:
Beginilah jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
            Dikutuk-sumpahi Eros
            Aku merangkaki dinding buta
            Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik juga kita pahami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

Februari 1943
TAMAN

Taman punya kita berdua
tak lebar luas, kecil saja
satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah
Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.
Karena
dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia

Maret 1943
1943

Racun berada di reguk pertama
Membusuk rabu terasa di dada
Tenggelam darah dalam nanah
Malam kelam membelam
Jalan kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum. Mengguruh.
Menentang. Menyerang.
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku

1943
DALAM KERETA

Dalam kereta
Hujan menebal jendela
            Semarang, Solo….., makin dekat saja
            Menangkup senja.
Menguak purnama.
Caya menyayat mulut dan mata.
Menjengking kereta. Menjengking jiwa,
            Sayatan terus ke dada.

15 Maret 1944
SAJAK PUTIH
Buat tunanganku Mirat

bersandar pada tari warna pelangi
kau depanku bertudung sutra senja
di hitam matamu kembang mawar dan melati
harum rambutmu mengalun bergelut senda
            sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
            meriak muka air kolam jiwa
            dan dalam dadaku memerdu lagu
            menarik menari seluruh aku
hidup dari hidupku, pintu terbuka
selama matamu bagiku menengadah
selama kau darah mengalir dari luka
antara kita Mati datang tidak membelah…
            buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia sendiri,
            dan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di ala mini!
Kucuplah aku terus, kucuplah
dan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…

18 Januari 1944
SIAP SEDIA
Kepada angkatanku
Tanganmu nanti tegang kaku,
Jantungmu nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu nanti mengeras batu,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus memahat ini tugu,
            Matamu nanti kaca saja,
            Mulutmu nanti habis bicara,
            Darahmu nanti mengalir berhenti,
            Tapi kami sederap mengganti,
            Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu nanti diam ditekan,
Namamu nanti terbang hilang,
Langkahmu nanti enggan ke depan,
Tapi kami sederap mengganti,
Bersatu maju,ke Kemenangan.
            Darah kami panas selama,
            Badan kami tertempa baja,
            Jiwa kami gagah perkasa,
            Kami akan mewarna diangkasa,
            Kami pembawa ke Bahagia nyata.
Kawan,  kawan
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan
            Segala menyala-nyala!
            Segala menyala-nyala!
            Kawan, kawan
            Dan kita bangkit dengan kesadaran
            Memucuk menerang hingga belulang.
            Kawan, kawan
            Kita mengayun pedang ke Dunia Terang!

1944
KEPADA PENYAIR BOHANG

Suaramu bertanda derita laut tenang…
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, di mulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
            Kelana tidak bersejarah
            Berjalan engkau terus!
            Sehingga tidak gelisah
            Begitu berlumuran darah.
Dan duka mengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
“Aku saksi!”
            Bohang,
            Jauh di pasar jiwamu
            bertampuk suatu dunia;
            menguyup rintik satu-satu
            Kaca dari dirimu pula…

1945
LAGU SIUL

I
Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu saja.
            II
            Aku kira
            Beginilah nanti jadinya:
            Kau kawin, beranak dan berbahagia
            Sedang aku mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta,
Tak satu juga pintu terbuka.
            Jadi baik kita padami
            Unggunan api ini
            Karena kau tidak ‘kan apa-apa
            Aku terpanggang tinggal rangka

25 November 1945
MALAM

Mulai kelam
belum buntu malam,
kami masih saja berjaga
-Thermopylae?-
-jagal tidak diikenal?-
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam
hilang…

Markas API, Menteng 31, 1945

“BETINA”NYA AFFANDI

Betina, jika di barat nanti
menjadi gelap
turut tenggelam sama sekali
juga yang mengendap,
Di mukamu tinggal bermain Hidup dan Mati.
            Matamu menentang –sebentar dulu!-
            Kau tidak gamang, hidup kau sintuh, kau cumbu,
            sekarang senja gosong, tinggal abu…
            Dalam tubuhmu ramping masih berkejaran
            Perempuan dan Laki.

1946
BUAT ALBUM D.S.

Seorang gadis lagi menyanyi
Lagu derita di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri di laut biru, dari
Mereka yang sudah lupa bersuka.
            Suaranya pergi terus meninggi,
            Kami yang mendengar melihat senja
            Mencium belai si gadis dari pipi
            Dan gaun putihnya sebagian dari mimpi.
Kami rasa bahagia tentu ‘kan tiba,
Kelasi mendapat dekpan di pelabuhan
Dan di negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya bersinar lagi, dapat tujuan.
            Lagu merdu! Apa mengertikah adikku kecil
            yang menagis meringis hati
            Bahwa pelarian akan terus tinggal terpencil,
            Juga di negeri jauh itu surya tidak kembali?

1946
CATETAN TH. 1946

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut.
            Kita –anjing diburu- hanya melihat sebagian dari sandiwara sekarang
            Tidak tahu Roemo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
            Lahir seorang besar dan tenggelam berates ribu
            Keduanya harus dicatet, keduanya dapat tempat.
Dan kita nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu;
Kita memburu artii atau diseraphan kepada ana lahir sempat
Karena itu jangan mengerdip, tetap pada penamu asah,
Tulis karena kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!

1946
CERITA BUAT DIEN TAMAELA

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.

Beta Pattiradjawane
Kikisan laut
Bedarah laut.

Beta Pattiradjawane
Ketika lahir dibawakan
Datu duyung sampan.

Beta Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di pantai. Siapa mendekat
Tiga kali menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi ganggang menari

Menurut beta punya tifa,
Pohon pala, badan perawan jadi
Hidup sampai pagi tiba.

Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!

Awas jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
beta kirim datu-datu!

Beta ada di malam, ada di siang
Irama ganggang dan api membakar pulau…

Beta Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu
1946

CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulai,
gadis manis, sekarang iseng sendiri.
            Perahu melancar, bulan memancar,
            di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
            angin membantu, laut terang, tapi terasa
            aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan perahu ke pangkuan saja.”
            Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
            Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
            Mengapa Ajal memanggil dulu
            Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946

DARI DIA
Buat K.

Jangan salahkan aku, kau kudekap
bukan karena setia, lalu pergi gemerincing ketawa!
Sebab perempuan susah mengatasi
keterharusan penghidupan yang ‘kan dibawakan padanya…
            Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke kamar
            Yang kautandai lampu merah kembali ke kamar
            Tidak tahu buat berapa lama, tapi pasti di senja samar
            Rambutku ikal menyinar, kau senapsu dulu kuhela
Sementara biarkan ‘ku hidup yang sudah
dijalinkan dalam rahasia…

Cirebon 1946
DENGAN MIRAT

Kamar ini jadi sarang penghabisan
di malam yang hilang batas
            Aku dan dia hanya menjengkau
            rakit hitam.
‘Kan terdamparkah
atau terserah
pada putaran pitam?
            Matamu ungu membantu
Masih berdekapankah kami atau
mengikut juga bayangan itu?

8 Januari 1946
KABAR DARI LAUT

Aku memang benar tolol ketika itu,
mau pula membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba bisa sendiri di laut pilu,
berujuk kembali dengan tujuan biru.
            Di tubuhku ada luka sekarang,
            bertambah lebar juga, mengeluarkan darah,
            di bekas dulu kau cium napsu dan garang;
            lagi aku pun sangat lemah serta menyerah.
Hidup berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan Cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa gila pada whisky tercermin tenang.
            Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang dan memuji,
            Atau di antara mereka juga terdampar,
            Burung mati pagi hari di sisi sangkar?

1946
KEPADA KAWAN

Sebelum Ajal mendekat dan menghianat,
mencengkam dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih menggelombang dalam dada darah serta rasa,
            belum bertugas kecewa dan gentar belum ada,
            tidak lupa tiba-tiba bisa malam membenam,
            layar merah terkibar hilang dalam kelam,
            kawan, mari kita putuskan kini di sini:
            Ajal yang menarik kita, juga mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang paling liar, pacu laju,
Jangan tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan lagi apa yang kau perbuat,
Hilang sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta ampun atas segala dosa,
Tidak member pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita putuskan sekali lagi:
Ajal yang menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi kawan. Sebaris lagi:
Tikamkan pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa yang mengairi kemurnian madu!!!

30 November 1946
NOCTURNO
(FRAGMENT)

……………………………
Aku menyeru –tapi tidak satu suara
membalas, hanya mati di beku udara.
Dalam diriku terbujur keinginan,
juga tidak bernyawa.
Mimpi yang penghabisan minta tenaga,
Patah kapak, sia-sia bedaya,
Dalam cekikan hatiku
            Terdampar… Menginyam abu dan debu
            Dari tinggalannya suatu lagu.
            Ingatan pada Ajal yang menghantu.
            Dan demam yang nanti membikin kaku…
…………………………………………….
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan!

1946
PEMBERIAN TAHU

Bukan maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah kesunyian masing-masing.
Kupilih kau dari yang banyak, tapi
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah ingin benar padamu,
Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,
            Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
            Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
            Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,
            Aku memang tidak bisa lama bersama
            Ini juga kutulis di kapal, di laut tidak bernama!

1946
SEBUAH KAMAR

Sebuah jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia. Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih banyak tahu.
“Sudah lima anak bernyawa di sini,
Aku salah satu”
            Ibuku tertidur dalam tersedu,
            Keramaian penjara sepi selalu,
            Bapakku sendiri terbaring jemu
            Matanya menatap orang tersalib di batu!
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi pada
Ibu dan bapakku, karena mereka berada
di luar hitungan: Kamar begini,
34 m, terlalu sempit buat meiup nyawa!

1946
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ajati

Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut
            Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
            menyinggung muram, desir hari lari berenang
            menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
            dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.

1946
SITUASI

…………………………………
Tidak perempuan! yang hidup dalam diri
masih incah mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras mencari kehijauan laut lain,
dan berada lai di kapal dulu bertemu,
berlepas kemudi pada angin,
mata terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang mengepak kembali menandungkan
Tai  Po dan rahasia laut Ambon
Begitulah perempuan! hanya suatu garis kabur
Bisa dituliskan
Dengan pelarian kebuntuan senyuman

Cirebon, 1946
DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO

I
Adakah jauh perjalanan ini?
Cuma selenggang –Coba kalau bisa lebihi!
Lantas bagaimana?
Pada daun gugur tanya sendiri,
Dan sama lagu melembut jadi melodi!
            Apa tinggal jadi tanda mata?
            Lihat pada betina tidak lagi menengadah
            Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan ini berapa lama?
Boleh seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan karna apa?
Tanya rumah asal yang bisu!
Keturunanku yang beku di situ!
            Ada yang menggamit?
            Ada yang kehilangan?
            Ah! jawab sendiri –Aku terus gelandangan…
II
Seperti ibu + nenekku juga
tambah tujuh keturunan yang lalu
aku minta pula supaya sampai di sorga
yang kata Masyumi+Muhamadiyah bersungai susu
dan bertabur bidadari beribu
            Tapi ada suara menimbang dalam diriku,
            nekat mencemooh: bisakah kiranya
            berkening dari kuyup laut biru,
            gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
            Lagi siapa bisa mengatakan pasti
            di situ memang ada bidadari
            suaranya berat menelan seperti Nina, punya kerlingan jati ?

Malang, 28 Februari 1947
MALAM DI PEGUNUNGAN

Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilih main kejaran dengan bayangan!

1947
TUTI ARTIC

Antara bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau cintaku, kuhiasi dengan susu+coca cola,
Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
            Kau pintar benar becium, ada goresan tinggal terasa
            -ketika kita bersepeda kuantar kau pulang-
            Panas darahmu, sungguh kelas kau jadi dara,
            Mimpi tua Bangka ke langit lagi menjulang.
Pilihanmu saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya permainan sebentar.
            Aku juga seperti kau, semua kelas berlalu
            Aku dan Tuti+Greet+Amoi… hati terlantar,
            Cinta adalah bahaya lekas jadi pudar.

1947
BUAT GADIS RASID

Antara
daun-daun hijau
padang lapang dan terang
anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung  merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku
-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
-the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.

1948
INA MIA

Terbaring di rangkuman pagi
-hari baru jadi-
Ina Mia mencari
hati mimpi,
Teraba Ina Mia
kulit harapan belaka
Ina Mia
menarik napas panjang
di tepi jurang
napsu
yang sudah lepas terhembus,
antara daun-daunan mengelabu
kabut cinta lama, cinta hilang
Terasa gentar sejenak
Ina Mia menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
-dan yang penghabisan yang mengipas-
Berpaling
kelihatan seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.

1948
KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
,tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
            Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
            ,terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
            Kami sudah coba apa yang kami bisa
            Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5 ribu nyawa
            Kami cuma tulang-tulang berserakan
            Tapi adalah kepunyaanmu
            Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang
            berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
            Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
            Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
            Kenang, kenanglah kami
            Teruskan,teruskan jiwa kami
            Menjaga Bung Karno
            menjaga Bung Hatta
            menjaga Bung Sjahrir
Kami  sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
            Kenang, kenanglah kami
            yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
            Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

1948
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO

Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang atas apimu, digarami oleh lautmu
            Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
            Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
            Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolah & berlabuh

1948
PRAJURIT JAGA MALAM
Pro Bohar+Rivai

Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam,
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.
            Aku suka pada mereka yang berani hidup
            Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
            Malam yang berwangi mimpi, berlucut debu…
            Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu.

1948
PUNCAK

Pondering, pondering on you, dear…

Minggu pagi di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa
tambah penjoal dalam diri-diputar atau memutar-
terasa tertekan; kita berbaring bulat telanjang
Sehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang..
Berada 2000 m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,
jadi terserah pada perbandingan dengan
cemara bersih hijau, kali yang bersih hijau
            Maka cintaku saying, kucoba menjabat tanganmu
            mendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di balik rupa.
            Kau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yang
            masih mengandung kabut, dank au lihat di sana, bahwa antara
            cemara bersih hijau dan kali gunung bersih hijau
            mengembang juga tanya dulu, tanya lama, tanya.

1948
SELAMA BULAN MENYINARI DADANYA

Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Aku bukan lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan berpuluh orang dan gang
menimbang:
ini tempat terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
            Selama bulan menyinari dadanya jadi pualam
            ranjang padang putih tiada batas
            sepilah panggil-panggilan
            antara aku dan mereka yang bertolak
            Juga ibuku yang berjanji
            tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah cinta jingga luntur:
Dan aku yang pilih
tinjauan mengabur, daun-daun sekitar gugur
rumah tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela kaca tiada baying dating mengambang
Gundu, gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak,
            Lihatlah cinta jingga luntur:
            Kalau dating nanti topan ajaib
            menggulingkan gundu, memutarkan gasing
            memacu kuda-kudaan, menghembus kapal-kapalan
            aku sudah lebih dulu kaku.

1948
SUDAH DULU LAGI TERJADI BEGINI

Sudah dulu lagi terjadi begini
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak tahu tanggal dan alasan lagi
Dan jangan tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan
Yang akan terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara
Sudah dulu lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak bakal teranjak dari petikan bedil.

1948
AKU BERADA KEMBALI

Aku berada kembali. Banyak yang asing:
air mengalir tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega yang tersandar pada khatulistiwa lain;
            rasa laut telah berubah dan kupunya wajah
            juga disinari matari
            lain.
Hanya
Kelengangan tinggal tetap saja.
Lebih lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang pula ketika berada antara
yang mengharap dan yang melepas.
            Telinga kiri masih terpaling
            ditarik gelisah yang sebentar-sebentar seterang
            guruh.

1949
AKU BERKISAR ANTARA MEREKA

Aku berkisar antara mereka sejak terpaksa
Bertukar rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan yang didapatnya.
(bioskop Capitol putar film Amerika,
Lagu-lagu baru irama mereka berdansa)
Kami pulang tidak kena apa-apa
Sungguhpun Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di halte, kami tunggu trem dari kota
Yang bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami, timpang dan pincang, ngintip dalam janji
juga
Sadarkan tulang belulang pada lampau jalan saja,
Sedang tahun gempita terus berkata.
Hujan menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati dalam malam ada do’a
Bagi yang baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga segala syphilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah derita bom atom pula)
Ini buktikan tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.

1949
BUAT NYONYA N

Sudah terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia turun ke rendahan datar.
Tiba di puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung asing bermain keliling kepalanya
dan buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.
            Sepanjang jalan dia terkenang akan jadi satu
            Atas puncak tinggi sendiri
            berjubah angin, dunia di bawah dan lebih dekat kamtian
            Tapi hawa tinggal hampa, tiba di puncak dia sungguh tidak tahu
Jalan yang dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil
            Terus terus. Sepi.
            Datar-lebar-tidak bertepi

1949
DERAI-DERAI CEMARA

cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
            aku sekarang orangnya bisa tahan
            sudah berapa waktu bukan kanak lagi
            tapi dulu memang ada suatu bahan
            yang buka dasar perhitungan kini
hidup hanya menunda kelahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

1949
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA
Di pegunungan 1943

Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama ke dalam pandangnya
coba memisah matanya menantang
yang satu tajam dan jujur sebelah.
            Ketawa diadukannya giginya pada
            mulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakah
            kau selalu mesra dan aku bagimu indah?
            Mirat raba urut Chairil, raba dada
            Dan tahulah dia kini, bisa katakana
            dan tunjukkan dengan pasti di mana
            menghidup jiwa, menghembus nyawa
            Liang jiwa-nyawa saling berganti. Dia
            rapatkan
Dirinya pada Chairil makin sehati;
hilang secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,
menurut tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.

1949
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS

,kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
,menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
,malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
            di Karet, di Karet (daerah y.a.d) sampai juga
            deru angin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau
datang
dan kaku bisa lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
            tubuhku diam dan sendiri, cerota dan peristiwa
            berlalu beku

1949
BERPISAH

Bersama-sama bunga digubah
Menjadi rangkaian halus pewangi
dan pulang kita bersuka hati
di kala Surya terbenam merah
            Di jalan simpang kita berpisah,
            Gubahan bunga gemetar di tangan
            dan sambil kita berpandangan
            jatuh rangkaian dua berbelah
Kuambil seutas, setengah lagi
Kau pegang erat, dank au melompat…
            Di kala senja kujalan sendiri
            Hanyalah bunga, kau bawa lari

BULAN LIMA BELAS

Bulan lima belas bulat di atas.
Awan debu kelabu.
Memancar sinar  menebar emas.
Bumi kelu beradu.
Sendiri aku menjaga malam.
            Siapak kawan? Tenteram.
            turut bayangan
            menjadi teman.
            ke mana aku pergi.
            ke mana aku pergi.
Rupanya engkau pun tidak setia.
Rupanya engkau pun meninggalkan juga.
Sama saja.
            bulan lima belas disaput atas.
            Sesa’at jerit menembus langit.
            Dari jauh serdadu menyeret sepatu
            menyentak-nyentak memaki sepi..
            Jika sunyi meredam hati…
PEMBUAR

Mari
dengarkanlah
kata yang akan kuucapkan
menentang angin di pantai yang sunyi
            jangan kau nasihatkan
            aku ‘kan tahu segala bunyi
            oleh gemuruh ombah akan dilebihi
dengarkanlah
laguku yang nekat:
            “Alam yang mati, alam yang hidup
            “Segala gerbangmu boleh tertutup,
            “Hatiku yang hidup, tak dapat mati
            “Cerbangmu adalah jalan sejati
“Mari dengarkanlah
dengarkanlah lagu
lagu tak berguna
lagu tak tentu”

PERTANYAAN

Mengapalah kau katakana itu:
sewaktu-waktu ku nantikan itu
sekarang…
mengapalah kunantikan itu:
hatiku tiada mau menunggu
            tetapi…
Kepalaku kupalingkan
menoleh ke belakang, ke sebelah, ke muka
tetapi hari berdiam, sekali-kali diam.
            Tanganku kukepalkan
            Ceminya kupukul, kesunyian pecah
tetapi aku heran melihat bertitiknya darah:
titik demi titik kesadaranku meniris
“apa yang kutanyakan, kutanyakan, kutanyakan, kutanyakan…”
            “Adakah aku yang telah bertanya?”

PUTUSAN

memandang air keruh
tiada tahu dalamnya
lomapti saja sekali
jangan ragu-ragu!!!
menyelam atau kalau tak dapat
tenggelam!
nanti akan samoai juga ke dasarnya
tahu sekali dalamnya (dan enak tidaknya)

A. Djuhana
TAHUN BERTAHUN

Tahun bertahun larut dan semakin terang,
Batas-batas mengecil dan tangkisan lemah,
Segala yang bebuih kembali tenang,
Di pohon dan bunga, langit dan tanah.
            Hati, dulu pemanjat bukit, penyerang udara,
            Lupa pergian, karena ditimpa bencana,
            Hidup berpengalaman mengalir sengasara,
            Di istri dan sahabat, bentuk yang sederhana.
Kupilih kota, pemandangan dan perjuangan,
Dan merasa luka yang lama pedih,
Kupegang hatiku di dalam tangan,
Suka dan sakit, nikmat dan pedih.

Sularko
TAKI JANGKAR PUTUS

memang terasa
satu-satu tali dalam bulatan itu putus
dan setiap satu putus bertambah ngeri
hati penumpang kapal.
            akhirnya putus jua semua.
satu-satu tali dalam bulatan putus
ini napas satu-satu pula pergi
tiap menit, tiap detik
entah pabila habis semua.

TERUS

Sampai di sini, adinda.
Kita lintangkan garis hitam
Pada semua peristiwa silam
Tiang-layar diperbaiki kembali.
            Engkau ta’ mau, katamu?
            Karena dosa
            Noda segala
            Tidak terhapus begitu saja?
Sepanjang jalan aku menembus.
Dosa dan noda kubawa terus.

Rival Apin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar