NISAN
Untuk nenekanda
Bukan
kematian benar menusuk kalbu
Keidlaanmu
menerima segala tiba
Tak kutahu
setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta
Oktober 1942
PENGHIDUPAN
Lautan maha
dalam
mukul dentur
selama
nguji tenaga
pematang kita
mukul dentur selama
hingga hancur remuk redam
Kurnia Bahagia
kecil setumpuk
sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk
Desember 1942
AJAKAN
Ida
Menembus
sudah caya
Udara tebal
kabut
Kaca hitam
lumut
Pecah pencar
sekarang
Di ruang
legah lapang
Mari ria
lagi
Tujuh belas
tahun kembali
Bersepeda
sama gandengan
Kita jalani
ini jalan
Ria bahagia
Tak acuh apa-apa
Gembira-girang
Biar hujan dating
Kita mandi basah-basakan diri
Tahu pasti sebentar kering lagi
Februari 1943
AKU
Kalau sampai
waktuku
‘Ku mau tak seorang
’kan merayu
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini
binatang jalang
Dari
kumpulannya terbuang
Biar perluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan
bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga
hilang pedih peri
Dan aku lebih tak perduli
Aku mau hidup
seribu tahun lagi
Maret 1943
AKU
Melangkahkan
aku bukan tuak menggelehak
Cumbu-cumbu
satu biduan
Kujauhi ahli
agama serta lembing-katanya.
Aku hidup
Dalam di mata tampak bergerak
Dengan cacar melebar, barah bernanah
Dan kadang satu senyum kukucup-minum
dalam dahaga.
8 Juni 1943
BERCERAI
Kita musti
bercerai
Sebelum
kicau murai berderai.
Terlalu kita minta pada malam ini.
Benar belum
puas serah-menyerah
Darah masih
berbusah-busah
Terlalu kita minta pada mala mini.
Kita musti
bercerai
Biar surya
‘kan menembus oleh malam di perisai
Dua benua bakal bentur-membentur.
Merah kesumba jadi putih kapur.
Bagaimana?
Kalau IDA,
mau turut mengabur
Tidak
damudra caya tempatmu menghambur.
7 Juni 1943
CERITA
Kepada Darmawidjaja
Di Pasar
Baru mereka.
Lalu
mengada-menggaya.
Mengikat sudah kesal
Tak thu apa dibuat
Jiwa satu
teman lucu
Dalam hidup,
dalam tuju.
Gundul diselimuti tebal
Sama segala berbuat-buat.
Tapi kadang
pula dapat
Ini renggang
terus terapat.
9 Juni 1943
DENDAM
Berdiri
tersentak
Dari mimpi
aku bengis dielak
Aku tegak
Bulan bersinar sedikit tak Nampak
Tangan
merabah ke bawah bantalku
Keris
berkarat ku genggam di hulu
Bulan bersinar sedikit tak Nampak
Aku mencari
Mendadak
mati kuhendak berbekas di jari
Aku mencari
Diri tercerai dari hati
Bulan
bersinar sedikit tak tampak
13 Juli 1943
DI MESJID
Kuseru saja
Dia
Sehingga
datang juga
Kami pun bermuka-muka.
Seterusnya
Ia bernyala-nyala dalam dada.
Segala daya
memadamkannya
Bersimbah peluh diri yang tak bisa
diperkuda
Ini ruang
Gelanggang
kami berperang
Binasa-membinasa
Satu menista yang lain gila.
29 Mei 1943
DIPONEGORO
Di masa
pembangunan ini
tuan hidup
kembali
Dan bara
kagum menjadi api
Di sepan
sekali tuan menanti
Tak gentar.
Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan,
keris di kiri
Berselempang
semangat yang tak bisa mati
MAJU
Ini barisan
tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan
tanda menyarbu
Sekali
berarti
Sudah itu
mati
MAJU
Bagimu
Negeri
Menyedihkan
api.
Punah di
atas menghamba
Binasa di
atas ditinda
Sungguhpun
dalam ajal baru tercapai
Jika hidup
harus merasai.
Maju.
Serbu.
Serang.
Terjang
Februari 1943
DO’A
Kepada pemeluk teguh
Tuhanku
Dalam
termangu
Aku masih
menyebut namaMu
Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas
suci
tinggal
kerdip lilin di kelam sunyi
Tuhanku
aku hilang
bentuk
remuk
Tuhanku
aku
mengembara di negeri asing
Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling
13 November 1943
HAMPA
Kepada Sri yang selalu sangsi
Sepi di
luar, sepi menekan-mendesak
Lurus-kaku
pohonan. Tak bergerak
Sampai ke
puncak
Sepi memagut
Tak suatu
kuasa-berani melepas diri
Segala
menanti. Menanti-menanti.
Sepi.
Dan ini
menanti penghabisan mencekik
Memberat-mencengkung
punda
Udara
bertuba
Rontok-gugur
segala. Setan bertempik
Ini sepi
terus ada. Menanti. Menanti.
Maret 1943
HUKUM
Saban sore
ia lalu depan rumahku
Dalam baju
tebal abu-abu
Seorang jerih memikul. Banyak
menagkis pukul.
Bungkuk
jalannya-Lesu
Pucat
mukanya-Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa
Melecut
supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu
kurang tenaga
Pekik di
angkasa: perwira muda
Pagi ini
menyinar lain masa
Nanti, kaku dinanti-dimengerti!
Maret 1943
ISA
Itu Tubuh
mengucur
darah
mengucur
darah
rubuh
patah
mendampar
tanya: aku salah?
kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang
terang di mata masa
bertukar
rupa ini segara
menutup luka
aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
12 Nopember 1943
JANGAN KITA DI SINI BERHENTI
Jangan kita
disini berhenti
Tuaknya tua,
sedikit pula
Sedang kita
mau berkendi-kendi
Terus, terus
dulu…!!
Ke ruang di mana botol tuak banyak
berbaris
Pelayannya kita dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau, masih ketawa?
24 Juli 1943
KAWANKU DAN AKU
Kepada L.K. Bohang
Kami jalan
sama. Sudah larut
Menembus
kabut.
Hujan
mengucur badan.
Berkakuan kapal-kapal di pelabuhan.
Darahku
mengental pekat. Aku tumpat-pedat.
Siapa berkata?
Lawanku
hanya rangka saja
Karena dera
mengelucak tenaga.
Dia bertanya jam berapa!
Sudah larut
sekali
Hingga
hilang segala makna
Dan gerak
tak punya arti
5 Juni 1943
KENANGAN
Untuk Karinah Moordjono
Kadang
Di antara
jeriji itu-itu saja
Mereksmi
member warna
Benda using
dilupa
Ah! tercebar
rasanya diri
Membuang
tinggi atas kini
Sejenak
Saja. Halus
rapuh ini jalinan kenang
Hancur
hilang belum dipegang
Terhentak
Kembali di
itu-itu saja
Jiwa
bertanya: Dari buah
Hidup kan
banyakan jatuh ke tanah?
Menyelubung
nyesak penyesalan pernah menyia-nyia
19 Maret 1943
KEPADA PEMINTA-MINTA
Baik, baik
aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi jangan
tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku.
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari luka
Sambil berjalan kau usap juga.
Bersuara
tiap kau melangkah
Mengerang
tiap kau memandang
Menetes dari
suasana kau dating
Sembarang
kau merebah.
Mengganggu dalam mimpiku
Menghempas aku di bumi keras
Di bibirku terasa pedas
mengaum di telingaku.
Baik, baik
aku akan menghadap Dia
Menyerahkan
diri dan segala dosa
Tapi jangan
tentang lagi aku
Nanti
darahku jadi beku.
Juni 1943
KESABARAN
Aku tak bisa
tidur
Orang
ngomong, anjing menggonggong
Dunia jauh
mengabur
Kelam
mendingding batu
Dihantam
suara bertalu-talu
Di
sebelahnya api dan abu
Aku hendak berbicara
Suaraku hilang, tenaga terbang
Sudah! Tidak jadi apa-apa
Ini dunia enggan disapa, ambil
perduli
Keras
membeku air kali
Dan hidup
bukan hidup lagi
Kuulangi yang dulu kembali
Sambil bertutup telinga, berpicing
mata
Menunggu reda yang mesti tiba
Maret 1943
KITA GUYAH LEMAH
Kita guyah
lemah
Sekali tetak
tentu rebah
Segala erang
dan jeritan
Kita pendam
dalam keseharian
Mari tegak merentak
Diri-sekeliling kita bentak
Ini malam purnama akan menembus
awan.
22 Juli 1943
KUPU-KUPU MALAM DAN BINIKU
Sambil
berselisih lalu
mengebu
debu.
Kupercepat langkah. Tak noleh ke
belakang
Negri ini luka-terbuka sekali
terpandang
Barah
ternganga
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu
Barangkali
tak setahuku
Ia menipuku.
Maret 1943
LAGU BIASA
Di teras
rumah makan kami kini berhadapan
Beru
berkenalan. Cuma berpandangan
Sungguhpun
samudra jiwa sudah selam berselam
Masih saja berpandangan
Dalam lakon pertama
Orkes meningkah dengan “Carmen”
pula.
Ia
mengerling. Ia ketawa
Dan rumput
kering terus menyala
Ia berkata.
Suaranya nyaring tinggi
Darahku
terhenti berlari
Katika orkes memulai “Ave Maria”
Kuseret ia ke sana….
Maret 1943
MERDEKA
Aku mau
bebas dari segala
Merdeka
Juga dari
Ida
Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Manjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah
Sedang
meradang
Segala
kurengut
Ikut baying
Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang
Ah! jiwa yang
menggapai-gapai
Mengapa
kalau beranjak dari sini
Kucoba dalam
mati.
14 Juli 1943
MULUTMU MENCUBIT DI MULUTKU
Mulutmu
mencubit di mulutku
Menggelehak
benci sejenak itu
Mengapa
merihmu tak kucekik pula
Ketika
halus-perih kau meluka??
12 Juli 1943
PELARIAN
I
Tak tertahan
lagi
remang miang
sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskan pintu keras tak
berhingga
Hancur-luluh
seketika
Dan paduan
dua jiwa
II
Dari kelam
ke malam
Tertawa-meringis
malam menerimanya
Ini batu
baru tercampung dalam gelita
“Mau apa?
Rayu dan pelupa,
Aku ada!
Pilih saja!
Bujuk
dibeli?
Atau sungau
sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja”
Tak kuasa-terengkam
Ia dicengkam malam
Februari 1943
PENERIMAAN
Kalau kau
mau kuterima kau kembali
Dengan
sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri
Kutahu kau
bukan yang dulu lagi
Bak kembang
sari yang sidah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan
berani
Kalau kau
mau kuterima kau kembali
Untukku
sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan
berbagi
Maret 1943
PERHITUNGAN
Banyak gores
belum terputus saja
Satu rumah
kecil putih dengan lampu merah muda caya
Langit bersih-cerah dan purnama
raya…
Sudah itu tempatku tak tentu di
mana.
Sekilap
pandangan serupa dua klewang bergeseran
Sudah itu berlepasan dengan sedikit
heran
Hembus kau aku tak perduli, ke
Bandung, ke Sukabumi…!?
Kini aku
meringkih dalam malam sunyi.
16 Maret 1943
RUMAHKU
Rumahku dari
unggun-timbun sajak
Kaca jernih
dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebang halaman
Aku tersesat tak dapat jalan
Kemah
kudirikan ketika senjakala
Di pagi hari
terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak
Rasanya lama
lagi, tapi datangnya dating
Aku tidak
lagi meraih petang
Biar
berleleran kata manis madu
Jika managih
yang satu.
27 April 1943
SELAMAT TINGGAL
Aku berkaca
Bukan buat
ke pesta
Ini muka penuh luka
Siapa punya?
Kudengar
seru-menderu
-dalam
hatiku?-
Apa hanya
angin lalu?.
Lagu lain pula
Menggelepar tengah malam buta
Ah…!!
Segala menebal, segala mnegntal
Segala tak kukenal…
Selamat tinggal…!!!
12 Juli 1943
SENDIRI
Hidupnya
tambah sepi, tambah hampa
Malam apa
lagi
Ia memekik
ngeri
Dicekik
kesunyian kamarnya
Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya
Bahaya dari
tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakutan-mananti
ia mnyebut satu nama
Terkejut ia terduduk. Siapa
memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!
Februari 1943
SIA-SIA
Pengahbisan
kali itu kau dating
Membawa
kembang berkarang
Mawar merah
dan melati putih
Darah dan
suci
Kau tebarkan
depanku
Serta
pandang yang memastikan: untukmu.
Lalu kita sama termangu
Saling bertanya: apakah ini?
Cinta? Kita berdua tak mengerti
Sehari kita
bersama. Tak hamper-menghampiri
Ah! Hatiku yang tak mau member
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
Februari 1943
SUARA MALAM
Dunia badai
dan topan
Manusia
mengingatkan “Kebakaran di Hutan”
Jadi ke mana
Untuk damai
dan reda?
Mati.
Barang kali
ini diam kaku saja
dengan
ketenangan selama bersatu
mengatasi
suka dan duka
kekebalan
terhadap debu nafsu.
Berbaring
tak sadar
Seperti
kapal pecah di dasar lautan
jemu dipukul
ombak besar.
Atau ini.
Peleburan
dalam tiada
dan sekali
akan menghadap cahaya.
…………………………………………………
Ya Allah!
Badanku terbakar-segala samar.
Aku sudah
melewati batas.
Kembali?
Pintu tertutup dengan keras.
Februari 1943
TAK SEPADAN
Aku kira:
Beginilah
jadinya
Kau kawin,
beranak dan berbahagia
Sedang aku
mengembara serupa Ahasveros
Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka
Jadi baik
juga kita pahami
Unggunan api
ini
Karena kau
tidak ‘kan apa-apa
Aku
terpanggang tinggal rangka
Februari 1943
TAMAN
Taman punya
kita berdua
tak lebar
luas, kecil saja
satu tak
kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan
aku cukuplah
Taman
kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya
tak berbanding permadani
halus lembut
dipijak kaki.
Bagi kita
bukan halangan.
Karena
dalam taman
punya berdua
Kau kembang,
aku kumbang
aku kumbang,
kau kembang.
Kecil, penuh
surya taman kita
tempat
merenggut dari dunia dan ‘nusia
Maret 1943
1943
Racun berada
di reguk pertama
Membusuk
rabu terasa di dada
Tenggelam
darah dalam nanah
Malam kelam
membelam
Jalan
kaku-lurus. Putus
Candu.
Tumbang
Tanganku
menadah patah
Luluh
Terbenam
Hilang
Lumpuh.
Lahir
Tegak
Berderak
Rubuh
Runtuh
Mengaum.
Mengguruh.
Menentang.
Menyerang.
Kuning
Merah
Hitam
Kering
Tandas
Rata
Rata
Rata
Dunia
Kau
Aku
Terpaku
1943
DALAM KERETA
Dalam kereta
Hujan
menebal jendela
Semarang, Solo….., makin dekat saja
Menangkup senja.
Menguak
purnama.
Caya
menyayat mulut dan mata.
Menjengking
kereta. Menjengking jiwa,
Sayatan terus ke dada.
15 Maret 1944
SAJAK PUTIH
Buat tunanganku Mirat
bersandar
pada tari warna pelangi
kau depanku
bertudung sutra senja
di hitam
matamu kembang mawar dan melati
harum
rambutmu mengalun bergelut senda
sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
meriak muka air kolam jiwa
dan dalam dadaku memerdu lagu
menarik menari seluruh aku
hidup dari
hidupku, pintu terbuka
selama
matamu bagiku menengadah
selama kau
darah mengalir dari luka
antara kita
Mati datang tidak membelah…
buat Miratku, Ratuku! kubentuk dunia
sendiri,
dan kuberi jiwa segala yang dikira
orang mati di ala mini!
Kucuplah aku
terus, kucuplah
dan
semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku…
18 Januari 1944
SIAP SEDIA
Kepada angkatanku
Tanganmu
nanti tegang kaku,
Jantungmu
nanti berdebar berhenti,
Tubuhmu
nanti mengeras batu,
Tapi kami
sederap mengganti,
Terus
memahat ini tugu,
Matamu nanti kaca saja,
Mulutmu nanti habis bicara,
Darahmu nanti mengalir berhenti,
Tapi kami sederap mengganti,
Terus berdaya ke Masyarakat Jaya.
Suaramu
nanti diam ditekan,
Namamu nanti
terbang hilang,
Langkahmu
nanti enggan ke depan,
Tapi kami
sederap mengganti,
Bersatu
maju,ke Kemenangan.
Darah kami panas selama,
Badan kami tertempa baja,
Jiwa kami gagah perkasa,
Kami akan mewarna diangkasa,
Kami pembawa ke Bahagia nyata.
Kawan, kawan
Menepis
segar angin terasa
Lalu menderu
menyapu awan
Terus
menembus surya cahaya
Memancar
pencar ke penjuru segala
Riang
menggelombang sawah dan hutan
Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!
Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran
Memucuk menerang hingga belulang.
Kawan, kawan
Kita mengayun pedang ke
Dunia Terang!
1944
KEPADA PENYAIR BOHANG
Suaramu
bertanda derita laut tenang…
Si Mati ini
padaku masih berbicara
Karena dia
cinta, di mulutnya membusah
Dan rindu
yang mau memerahi segala
Si Mati ini
matanya terus bertanya!
Kelana tidak bersejarah
Berjalan engkau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.
Dan duka
mengadah
Melihat
gayamu melangkah
Mendayu
suara patah:
“Aku saksi!”
Bohang,
Jauh di pasar jiwamu
bertampuk suatu dunia;
menguyup rintik satu-satu
Kaca dari dirimu pula…
1945
LAGU SIUL
I
Laron pada
mati
Terbakar di
sumbu lampu
Aku juga
menemu
Ajal di
cerlang caya matamu
Heran! ini
badan yang selama berjaga
Habis hangus
di api matamu
‘Ku kayak
tidak tahu saja.
II
Aku kira
Beginilah nanti jadinya:
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa
Ahasveros
Dikutuk-sumpahi
Eros
Aku
merangkaki dinding buta,
Tak satu
juga pintu terbuka.
Jadi baik kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka
25 November 1945
MALAM
Mulai kelam
belum buntu
malam,
kami masih
saja berjaga
-Thermopylae?-
-jagal tidak
diikenal?-
tapi nanti
sebelum
siang membentang
kami sudah
tenggelam
hilang…
Markas API, Menteng 31, 1945
“BETINA”NYA AFFANDI
Betina, jika
di barat nanti
menjadi
gelap
turut
tenggelam sama sekali
juga yang
mengendap,
Di mukamu
tinggal bermain Hidup dan Mati.
Matamu menentang –sebentar dulu!-
Kau tidak gamang, hidup kau sintuh,
kau cumbu,
sekarang senja gosong, tinggal abu…
Dalam tubuhmu ramping masih
berkejaran
Perempuan dan Laki.
1946
BUAT ALBUM D.S.
Seorang
gadis lagi menyanyi
Lagu derita
di pantai yang jauh,
Kelasi bersendiri
di laut biru, dari
Mereka yang
sudah lupa bersuka.
Suaranya pergi terus meninggi,
Kami yang mendengar melihat senja
Mencium belai si gadis dari pipi
Dan gaun putihnya sebagian dari
mimpi.
Kami rasa
bahagia tentu ‘kan tiba,
Kelasi
mendapat dekpan di pelabuhan
Dan di
negeri kelabu yang berhiba
Penduduknya
bersinar lagi, dapat tujuan.
Lagu merdu! Apa mengertikah adikku
kecil
yang menagis meringis hati
Bahwa pelarian akan terus tinggal
terpencil,
Juga di negeri jauh itu surya tidak
kembali?
1946
CATETAN TH. 1946
Ada
tanganku, sekali akan jemu terkulai,
Mainan cahya
di air hilang bentuk dalam kabut,
Dan suara
yang kucintai ‘kan berhenti membelai.
Kupahat batu
nisan sendiri dan kupagut.
Kita –anjing diburu- hanya melihat
sebagian dari sandiwara sekarang
Tidak tahu Roemo & Juliet
berpeluk di kubur atau di ranjang
Lahir seorang besar dan tenggelam
berates ribu
Keduanya harus dicatet, keduanya
dapat tempat.
Dan kita
nanti tiada sawan lagi diburu
Jika bedil
sudah disimpan, Cuma kenangan berdebu;
Kita memburu
artii atau diseraphan kepada ana lahir sempat
Karena itu
jangan mengerdip, tetap pada penamu asah,
Tulis karena
kertas gersang, tenggorokan kering sedikit mau basah!
1946
CERITA BUAT DIEN TAMAELA
Beta
Pattiradjawane
Yang dijaga datu-datu
Cuma satu.
Beta
Pattiradjawane
Kikisan laut
Bedarah
laut.
Beta
Pattiradjawane
Ketika lahir
dibawakan
Datu duyung
sampan.
Beta
Pattiradjawane, menjaga hutan pala.
Beta api di
pantai. Siapa mendekat
Tiga kali
menyebut beta punya nama.
Dalam sunyi
ganggang menari
Menurut beta
punya tifa,
Pohon pala,
badan perawan jadi
Hidup sampai
pagi tiba.
Mari menari!
mari beria!
mari berlupa!
Awas jangan
bikin beta marah
Beta bikin
pala mati, gadis kaku
beta kirim
datu-datu!
Beta ada di
malam, ada di siang
Irama
ganggang dan api membakar pulau…
Beta
Pattiradjawane
Yang dijaga
datu-datu
Cuma satu
1946
CINTAKU JAUH DI PULAU
Cintaku jauh
di pulai,
gadis manis,
sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si
pacar.
angin membantu, laut terang, tapi
terasa
aku tidak ‘kan sampai padanya.
Di air yang
tenang, di angin mendayu,
di perasaan
penghabisan segala melaju
Ajal
bertakhta, sambil berkata:
“Tujukan
perahu ke pangkuan saja.”
Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama ‘kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan
cintaku?!
Manisku jauh
di pulau,
kalau ‘ku
mati, dia mati iseng sendiri.
1946
DARI DIA
Buat K.
Jangan
salahkan aku, kau kudekap
bukan karena
setia, lalu pergi gemerincing ketawa!
Sebab
perempuan susah mengatasi
keterharusan
penghidupan yang ‘kan dibawakan padanya…
Sebut namaku! ‘ku datang kembali ke
kamar
Yang kautandai lampu merah kembali
ke kamar
Tidak tahu buat berapa lama, tapi
pasti di senja samar
Rambutku ikal menyinar, kau senapsu
dulu kuhela
Sementara
biarkan ‘ku hidup yang sudah
dijalinkan
dalam rahasia…
Cirebon 1946
DENGAN MIRAT
Kamar ini
jadi sarang penghabisan
di malam
yang hilang batas
Aku dan dia hanya menjengkau
rakit hitam.
‘Kan
terdamparkah
atau
terserah
pada putaran
pitam?
Matamu ungu membantu
Masih
berdekapankah kami atau
mengikut
juga bayangan itu?
8 Januari 1946
KABAR DARI LAUT
Aku memang
benar tolol ketika itu,
mau pula
membikin hubungan dengan kau;
lupa kelasi tiba-tiba
bisa sendiri di laut pilu,
berujuk
kembali dengan tujuan biru.
Di tubuhku ada luka sekarang,
bertambah lebar juga, mengeluarkan
darah,
di bekas dulu kau cium napsu dan
garang;
lagi aku pun sangat lemah serta
menyerah.
Hidup
berlangsung antara buritan dan kemudi.
Pembatasan
Cuma tambah menyatukan kenang.
Dan tawa
gila pada whisky tercermin tenang.
Dan kau? Apakah kerjamu sembahyang
dan memuji,
Atau di antara mereka juga
terdampar,
Burung mati pagi hari di sisi
sangkar?
1946
KEPADA KAWAN
Sebelum Ajal
mendekat dan menghianat,
mencengkam
dari belakang ‘tika kita tidak melihat,
selama masih
menggelombang dalam dada darah serta rasa,
belum bertugas kecewa dan gentar
belum ada,
tidak lupa tiba-tiba bisa malam
membenam,
layar merah terkibar hilang dalam
kelam,
kawan, mari kita putuskan kini di
sini:
Ajal yang menarik kita, juga
mencekik diri sendiri!
Jadi
Isi gelas
sepenuhnya lantas kosongkan,
Tembus
jelajah dunia ini dan balikkan
Peluk kucup
perempuan, tinggalkan kalau merayu,
Pilih kuda yang
paling liar, pacu laju,
Jangan
tambatkan pada siang dan malam
Dan
Hancurkan
lagi apa yang kau perbuat,
Hilang
sonder pusaka, sonder kerabat,
Tidak minta
ampun atas segala dosa,
Tidak member
pamit pada siapa saja!
Jadi
mari kita
putuskan sekali lagi:
Ajal yang
menarik kita, ‘kan merasa angkasa sepi,
Sekali lagi
kawan. Sebaris lagi:
Tikamkan
pedangmu hingga ke hulu
Pada siapa
yang mengairi kemurnian madu!!!
30 November 1946
NOCTURNO
(FRAGMENT)
……………………………
Aku menyeru
–tapi tidak satu suara
membalas, hanya
mati di beku udara.
Dalam diriku
terbujur keinginan,
juga tidak
bernyawa.
Mimpi yang
penghabisan minta tenaga,
Patah kapak,
sia-sia bedaya,
Dalam
cekikan hatiku
Terdampar… Menginyam abu dan debu
Dari tinggalannya suatu lagu.
Ingatan pada Ajal yang menghantu.
Dan demam yang nanti membikin kaku…
…………………………………………….
Pena dan
penyair keduanya mati,
Berpalingan!
1946
PEMBERIAN TAHU
Bukan
maksudku mau berbagi nasib,
nasib adalah
kesunyian masing-masing.
Kupilih kau
dari yang banyak, tapi
sebentar
kita sudah dalam sepi lagi terjaring.
Aku pernah
ingin benar padamu,
Di malam
raya, menjadi kanak-kanak kembali,
Kita berpeluk ciuman tidak jemu,
Rasa tak sanggup kau kulepaskan.
Jangan satukan hidupmu dengan
hidupku,
Aku memang tidak bisa lama bersama
Ini juga kutulis di kapal, di laut
tidak bernama!
1946
SEBUAH KAMAR
Sebuah
jendela menyerahkan kamar ini
pada dunia.
Bulan yang menyinar ke dalam
mau lebih
banyak tahu.
“Sudah lima
anak bernyawa di sini,
Aku salah
satu”
Ibuku tertidur dalam tersedu,
Keramaian penjara sepi selalu,
Bapakku sendiri terbaring jemu
Matanya menatap orang tersalib di
batu!
Sekeliling
dunia bunuh diri!
Aku minta
adik lagi pada
Ibu dan
bapakku, karena mereka berada
di luar
hitungan: Kamar begini,
3
4 m, terlalu sempit buat meiup nyawa!
1946
SENJA DI PELABUHAN KECIL
Buat Sri Ajati
Ini kali
tidak ada yang mencari cinta
di antara
gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta
temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus
diri dalam mempercaya mau berpaut
Gerimis mempercepat kelam. Ada juga
kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari
berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak
bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang
ombak.
Tiada lagi.
Aku sendiri. Berjalan
menyisir
semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba
di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai
keempat, sedu penghabisan bisa terdekap.
1946
SITUASI
…………………………………
Tidak
perempuan! yang hidup dalam diri
masih incah
mengelak dari pelukanmu gemas gelap,
bersikeras
mencari kehijauan laut lain,
dan berada
lai di kapal dulu bertemu,
berlepas
kemudi pada angin,
mata
terpikat pada bintang yang menanti.
Sesuatu yang
mengepak kembali menandungkan
Tai Po dan rahasia laut Ambon
Begitulah
perempuan! hanya suatu garis kabur
Bisa
dituliskan
Dengan
pelarian kebuntuan senyuman
Cirebon, 1946
DUA SAJAK BUAT BASUKI RESOBOWO
I
Adakah jauh
perjalanan ini?
Cuma
selenggang –Coba kalau bisa lebihi!
Lantas
bagaimana?
Pada daun
gugur tanya sendiri,
Dan sama
lagu melembut jadi melodi!
Apa tinggal jadi tanda mata?
Lihat pada betina tidak lagi
menengadah
Atau bayu sayu, bintang menghilang!
Lagi jalan
ini berapa lama?
Boleh
seabad… aduh sekerdip saja!
Perjalanan
karna apa?
Tanya rumah
asal yang bisu!
Keturunanku
yang beku di situ!
Ada yang menggamit?
Ada yang kehilangan?
Ah! jawab sendiri –Aku terus
gelandangan…
II
Seperti ibu
+ nenekku juga
tambah tujuh
keturunan yang lalu
aku minta
pula supaya sampai di sorga
yang kata
Masyumi+Muhamadiyah bersungai susu
dan bertabur
bidadari beribu
Tapi ada suara menimbang dalam
diriku,
nekat mencemooh: bisakah kiranya
berkening dari kuyup laut biru,
gamitan dari tiap pelabuhan gimana?
Lagi siapa bisa mengatakan pasti
di situ memang ada bidadari
suaranya berat menelan
seperti Nina, punya kerlingan jati ?
Malang, 28 Februari 1947
MALAM DI PEGUNUNGAN
Aku
berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat
rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini
aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada
bocah cilih main kejaran dengan bayangan!
1947
TUTI ARTIC
Antara
bahagia sekarang dan nanti jurang ternganga,
Adikku yang
lagi keenakan menjilat es artic;
Sore ini kau
cintaku, kuhiasi dengan susu+coca cola,
Istriku
dalam latihan: kita hentikan jam berdetik.
Kau pintar benar becium, ada goresan
tinggal terasa
-ketika kita bersepeda kuantar kau
pulang-
Panas darahmu, sungguh kelas kau
jadi dara,
Mimpi tua Bangka ke langit lagi
menjulang.
Pilihanmu
saban hari menjemput, saban kali bertukar;
Besok kita
berselisih jalan, tidak kenal tahu:
Sorga hanya
permainan sebentar.
Aku juga seperti kau, semua kelas
berlalu
Aku dan Tuti+Greet+Amoi… hati
terlantar,
Cinta adalah bahaya lekas jadi
pudar.
1947
BUAT GADIS RASID
Antara
daun-daun
hijau
padang
lapang dan terang
anak-anak
kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian
burung-burung merdu
hujan segar
dan menyebar
bangsa muda
menjadi, baru bisa bilang “aku”
Dan
angin tajam
kering, tanah semata gersang
pasir
bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita
terapit, cintaku
-mengecil
diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita
lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati
Terbang
mengenali
gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
-the only
possible non-stop flight
Tidak
mendapat.
1948
INA MIA
Terbaring di
rangkuman pagi
-hari baru
jadi-
Ina Mia
mencari
hati mimpi,
Teraba Ina
Mia
kulit
harapan belaka
Ina Mia
menarik
napas panjang
di tepi
jurang
napsu
yang sudah
lepas terhembus,
antara
daun-daunan mengelabu
kabut cinta
lama, cinta hilang
Terasa
gentar sejenak
Ina Mia
menekan tapak di hijau rumput,
Angin ikut
-dan yang
penghabisan yang mengipas-
Berpaling
kelihatan
seorang serdadu mempercepat langkah di tekongan.
1948
KRAWANG-BEKASI
Kami yang
kini terbaring antara Krawang-Bekasi
,tidak bisa
teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi
mendengar deru kami,
,terbayang kami maju dan berdegap
hati?
Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada
rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kami mati
muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang,
kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum
apa-apa
Kami sudah
beri kami punya jiwa
Kerja belum
selesai, belum bisa memperhitungkan
arti 4-5
ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai
tulang-tulang
berserakan
Ataukah jiwa
kami melayang untuk kemerdekaan
kemenangan
dan harapan
atau tidak
untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi
bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara
padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada
rasa hampa dan jam dinding yang
berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan,teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami
arti
Berjagalah
terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi
debu
Beribu kami terbaring antara
Krawang-Bekasi
1948
PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO
Ayo! Bung
Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah
cukup lama dengar bicaramu,
dipanggang
atas apimu, digarami oleh lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat
di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno!
Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di
zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di
uratku kapal-kapal kita bertolah & berlabuh
1948
PRAJURIT JAGA MALAM
Pro Bohar+Rivai
Waktu jalan.
Aku tidak tahu apa nasib waktu
Pemuda-pemuda
yang lincah yang tua-tua keras,
bermata
tajam,
Mimpinya
kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di
sisiku selama kau menjaga daerah yang mati ini.
Aku suka pada mereka yang berani
hidup
Aku suka pada mereka yang masuk
menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, berlucut
debu…
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa
nasib waktu.
1948
PUNCAK
Pondering,
pondering on you, dear…
Minggu pagi
di sini. Kederasan ramai kota yang terbawa
tambah
penjoal dalam diri-diputar atau memutar-
terasa
tertekan; kita berbaring bulat telanjang
Sehabis apa
terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang..
Berada 2000
m. jauh dari muka laut, silang siur pelabuhan,
jadi
terserah pada perbandingan dengan
cemara
bersih hijau, kali yang bersih hijau
Maka cintaku saying, kucoba menjabat
tanganmu
mendekap wajahmu yang asing, meraih
bibirmu di balik rupa.
Kau terlompat dari ranjang, lari ke
tingkap yang
masih mengandung kabut, dank au lihat
di sana, bahwa antara
cemara bersih hijau dan kali gunung
bersih hijau
mengembang juga tanya dulu, tanya
lama, tanya.
1948
SELAMA BULAN MENYINARI DADANYA
Selama bulan
menyinari dadanya jadi pualam
ranjang
padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku
dan mereka yang bertolak
Aku bukan
lagi si cilik tidak tahu jalan
di hadapan
berpuluh orang dan gang
menimbang:
ini tempat
terikat pada Ida dan ini ruangan “pas bebas”
Selama bulan menyinari dadanya jadi
pualam
ranjang padang putih tiada batas
sepilah panggil-panggilan
antara aku dan mereka yang bertolak
Juga ibuku yang berjanji
tidak meninggalkan sekoci.
Lihatlah
cinta jingga luntur:
Dan aku yang
pilih
tinjauan
mengabur, daun-daun sekitar gugur
rumah
tersembunyi dalam cemara rindang tinggi
pada jendela
kaca tiada baying dating mengambang
Gundu,
gasing, kuda-kudaan, kapal-kapalan di zaman kanak,
Lihatlah cinta jingga luntur:
Kalau dating nanti topan ajaib
menggulingkan gundu, memutarkan
gasing
memacu kuda-kudaan, menghembus
kapal-kapalan
aku sudah lebih dulu kaku.
1948
SUDAH DULU LAGI TERJADI BEGINI
Sudah dulu
lagi terjadi begini
Jari tidak
bakal teranjak dari petikan bedil
Jangan tanya
mengapa jari cari tempat di sini
Aku tidak
tahu tanggal dan alasan lagi
Dan jangan
tanya siapa akan menyiapkan liang penghabisan
Yang akan
terima pusaka: kedamaian antara runtuhan menara
Sudah dulu
lagi, sudah dulu lagi
Jari tidak
bakal teranjak dari petikan bedil.
1948
AKU BERADA KEMBALI
Aku berada
kembali. Banyak yang asing:
air mengalir
tukar warna, kapal-kapal, elang-elang
serta mega
yang tersandar pada khatulistiwa lain;
rasa laut telah berubah dan kupunya
wajah
juga disinari matari
lain.
Hanya
Kelengangan
tinggal tetap saja.
Lebih
lengang aku di kelak-kelok jalan;
lebih lengang
pula ketika berada antara
yang
mengharap dan yang melepas.
Telinga kiri masih terpaling
ditarik gelisah yang
sebentar-sebentar seterang
guruh.
1949
AKU BERKISAR ANTARA MEREKA
Aku berkisar
antara mereka sejak terpaksa
Bertukar
rupa di pinggir jalan, aku pakai mata
mereka
pergi ikut
mengunjungi gelanggang bersenda:
kenyataan-kenyataan
yang didapatnya.
(bioskop
Capitol putar film Amerika,
Lagu-lagu
baru irama mereka berdansa)
Kami pulang
tidak kena apa-apa
Sungguhpun
Ajal macam rupa jadi tetangga
Terkumpul di
halte, kami tunggu trem dari kota
Yang
bergerak di malam hari sebagai gigi masa.
Kami,
timpang dan pincang, ngintip dalam janji
juga
Sadarkan
tulang belulang pada lampau jalan saja,
Sedang tahun
gempita terus berkata.
Hujan
menimpa. Kami tunggu trem dari kota.
Ah hati mati
dalam malam ada do’a
Bagi yang
baca tulisan tanganku dalam cinta
mereka
Semoga
segala syphilis dan segala kusta
(Sedikit lagi bertambah
derita bom atom pula)
Ini buktikan
tanda kedaulatan kami bersama
Terimalah
duniaku antara yang menyaksikan bisa
Kualami
kelam malam dan mereka dalam diriku
pula.
1949
BUAT NYONYA N
Sudah
terlampau puncak pada tahun yang lalu,
dan kini dia
turun ke rendahan datar.
Tiba di
puncak dan dia sungguh tidak tahu,
Burung-burung
asing bermain keliling kepalanya
dan
buah-buah hutan ganjil mencap warna pada gaun.
Sepanjang jalan dia terkenang akan
jadi satu
Atas puncak tinggi sendiri
berjubah angin, dunia di bawah dan
lebih dekat kamtian
Tapi hawa tinggal hampa, tiba di
puncak dia sungguh tidak tahu
Jalan yang
dulu tidak akan dia tempuh lagi,
Selanjutnya
tidak ada burung-burung asing, buah-buah pandan ganjil
Terus terus. Sepi.
Datar-lebar-tidak bertepi
1949
DERAI-DERAI CEMARA
cemara
menderai sampai jauh
terasa hari
akan jadi malam
ada beberapa
dahan di tingkap merapuh
dipukul
angin yang terpendam
aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang buka dasar perhitungan kini
hidup hanya
menunda kelahan
tambah
terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu,
ada yang tetap tidak diucapkan
sebelum pada
akhirnya kita menyerah
1949
MIRAT MUDA, CHAIRIL MUDA
Di pegunungan 1943
Dialah,
Miratlah, ketika mereka rebah,
Menatap lama
ke dalam pandangnya
coba memisah
matanya menantang
yang satu
tajam dan jujur sebelah.
Ketawa diadukannya giginya pada
mulut Chairil; dan bertanya: Adakah,
adakah
kau selalu mesra dan aku bagimu
indah?
Mirat raba urut Chairil, raba dada
Dan tahulah dia kini, bisa katakana
dan tunjukkan dengan pasti di mana
menghidup jiwa, menghembus nyawa
Liang jiwa-nyawa saling berganti.
Dia
rapatkan
Dirinya pada
Chairil makin sehati;
hilang
secepuh segan, hilang secepuh cemas
Hiduplah
Mirat dan Chairil dengan deras,
menurut
tinggi tidak setapak berjarak
dengan mati.
1949
YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS
,kelam dan
angin lalu mempesiang diriku,
,menggigir
juga ruang di mana dia yang kuingin,
,malam
tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
di Karet, di Karet (daerah y.a.d)
sampai juga
deru angin
aku berbenah
dalam kamar, dalam diriku jika kau
datang
dan kaku
bisa lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini
hanya tangan yang bergerak lantang
tubuhku diam dan sendiri, cerota dan
peristiwa
berlalu beku
1949
BERPISAH
Bersama-sama
bunga digubah
Menjadi
rangkaian halus pewangi
dan pulang
kita bersuka hati
di kala
Surya terbenam merah
Di jalan simpang kita berpisah,
Gubahan bunga gemetar di tangan
dan sambil kita berpandangan
jatuh rangkaian dua berbelah
Kuambil
seutas, setengah lagi
Kau pegang
erat, dank au melompat…
Di kala senja kujalan sendiri
Hanyalah bunga, kau bawa lari
BULAN LIMA BELAS
Bulan lima
belas bulat di atas.
Awan debu
kelabu.
Memancar
sinar menebar emas.
Bumi kelu
beradu.
Sendiri aku
menjaga malam.
Siapak kawan? Tenteram.
turut bayangan
menjadi teman.
ke mana aku pergi.
ke mana aku pergi.
Rupanya
engkau pun tidak setia.
Rupanya
engkau pun meninggalkan juga.
Sama saja.
bulan lima belas disaput atas.
Sesa’at jerit menembus langit.
Dari jauh serdadu menyeret sepatu
menyentak-nyentak memaki sepi..
Jika sunyi meredam hati…
PEMBUAR
Mari
dengarkanlah
kata yang
akan kuucapkan
menentang
angin di pantai yang sunyi
jangan kau nasihatkan
aku ‘kan tahu segala bunyi
oleh gemuruh ombah akan dilebihi
dengarkanlah
laguku yang
nekat:
“Alam yang mati, alam yang hidup
“Segala gerbangmu boleh tertutup,
“Hatiku yang hidup, tak dapat mati
“Cerbangmu adalah jalan sejati
“Mari
dengarkanlah
dengarkanlah
lagu
lagu tak
berguna
lagu tak
tentu”
PERTANYAAN
Mengapalah
kau katakana itu:
sewaktu-waktu
ku nantikan itu
sekarang…
mengapalah
kunantikan itu:
hatiku tiada
mau menunggu
tetapi…
Kepalaku
kupalingkan
menoleh ke
belakang, ke sebelah, ke muka
tetapi hari
berdiam, sekali-kali diam.
Tanganku kukepalkan
Ceminya kupukul, kesunyian pecah
tetapi aku
heran melihat bertitiknya darah:
titik demi
titik kesadaranku meniris
“apa yang
kutanyakan, kutanyakan, kutanyakan, kutanyakan…”
“Adakah aku yang telah bertanya?”
PUTUSAN
memandang
air keruh
tiada tahu
dalamnya
lomapti saja
sekali
jangan
ragu-ragu!!!
menyelam
atau kalau tak dapat
tenggelam!
nanti akan
samoai juga ke dasarnya
tahu sekali
dalamnya (dan enak tidaknya)
A. Djuhana
TAHUN BERTAHUN
Tahun
bertahun larut dan semakin terang,
Batas-batas
mengecil dan tangkisan lemah,
Segala yang
bebuih kembali tenang,
Di pohon dan
bunga, langit dan tanah.
Hati, dulu pemanjat bukit, penyerang
udara,
Lupa pergian, karena ditimpa
bencana,
Hidup berpengalaman mengalir
sengasara,
Di istri dan sahabat, bentuk yang
sederhana.
Kupilih kota,
pemandangan dan perjuangan,
Dan merasa
luka yang lama pedih,
Kupegang
hatiku di dalam tangan,
Suka dan
sakit, nikmat dan pedih.
Sularko
TAKI JANGKAR PUTUS
memang
terasa
satu-satu
tali dalam bulatan itu putus
dan setiap
satu putus bertambah ngeri
hati
penumpang kapal.
akhirnya putus jua semua.
satu-satu
tali dalam bulatan putus
ini napas
satu-satu pula pergi
tiap menit,
tiap detik
entah pabila
habis semua.
TERUS
Sampai di
sini, adinda.
Kita
lintangkan garis hitam
Pada semua
peristiwa silam
Tiang-layar
diperbaiki kembali.
Engkau ta’ mau, katamu?
Karena dosa
Noda segala
Tidak terhapus begitu saja?
Sepanjang
jalan aku menembus.
Dosa dan
noda kubawa terus.
Rival Apin